Assalamu'alaikum
warahmatullahiwabarakatuh
Sahabatku yang beriman,
marilah kita tingkatkan iman kita dengan selalu memahami sumber hukum Islam,
yakni Al-Qur'an, Hadis, dan Ijtihad. Karena hanya dengan begitulah, kehidupan
kita yang saat ini kita jalani dapat berlangsung nikmat dan bahagia hingga
berlanjut ke akhirat kelak. Berikut ini saya telah merangkum bab sumber hukum
Islam yang wajib kita ikuti.
A. Memahami Al-Qurān,
Hadis, dan Ijtihād sebagai Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam
merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan
hukum Islam. Ia menjadi pokok ajaran Islam sehingga segala sesuatu haruslah
bersumber atau berpatokan kepadanya. Ia menjadi pangkal dan tempat kembalinya
segala sesuatu. Ia juga menjadi pusat tempat mengalirnya sesuatu. Oleh karena
itu, sebagai sumber yang baik dan sempurna, hendaklah ia memiliki sifat
dinamis, benar, dan mutlak. Dinamis maksudnya adalah al-Qur’ān dapat berlaku di
mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Benar artinya al-Qur’ān
mengandung kebenaran yang dibuktikan dengan fakta dan kejadian yang yang
sebenarnya. Mutlak artinya al Qur’ān tidak diragukan lagi kebenarannya serta
tidak akan terbantahkan.
Adapun yang menjadi
sumber hukum Islam yaitu: al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihād.
Al-Qur’ānul Karim
1. Pengertian al-Qur’ān
Dari segi bahasa,
al-Qur’ān berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qirā’atan – qur’ānan, yang
berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Dari segi istilah, al-Qur’ān adalah
Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang
sampai kepada kita secara mutawattir, ditulis dalam mus¥af, dimulai dengan
surah al-Fāti¥a¥ dan diakhiri dengan surah an-Nās, membacanya berfungsi sebagai
ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammadsaw. dan sebagai hidayah atau petunjuk
bagi umat manusia. Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Sungguh,
al-Qur’ān ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar
gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan
mendapat pahala yang besar.” (Q.S. al-Isrā/17:9)
2. Kedudukan al-Qur’ān
sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber hukum
Islam, al-Qur’ān memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Ia merupakan sumber
utama dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman
kepadanya.Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur’ān:
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan ta’atilah
Rasul-Nya (Muhammad),
dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara
kamu. Kemudian, jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada
Allah Swt. (al-Qur’ān) dan Rasu-Nyal (sunnah), jika
kamu beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisā’/4:59)
Dalam ayat yang lain
Allah Swt. menyatakan:
Artinya: “Sungguh, Kami
telah menurunkan Kitab (al-Qur’ān) kepadamu
(Muhammad) membawa
kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia
dengan apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau
menjadi penentang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang
yang berkhianat.” (Q.S.
an-Nisā’/4:105)
Dalam sebuah hadis yang
bersumber dari Imam Bukhari dan Imam Muslim,
Rasulullah saw.
bersabda:
Artinya: “... Amma ba’du
wahai sekalian manusia, bukankah aku
sebagaimana manusia
biasa yang diangkat menjadi rasul dan saya tinggalkan
bagi kalian semua dua
perkara utama/besar, yang pertama adalah kitab Allah
yang di dalamnya
terdapat petunjuk dan cahaya/penerang, maka ikutilah
kitab Allah (al-Qur’an)
dan berpegang teguhlah kepadanya ... (H.R. Muslim)
Berdasarkan dua ayat dan
hadis di atas, jelaslah bahwa al-Qur’ān adalah
kitab yang berisi
sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang
beriman. Al-Qur’ān
sumber dari segala sumber hukum baik dalam konteks
kehidupan di dunia
maupun di akhirat kelak. Namun demikian, hukum-hukum
yang terdapat dalam
Kitab Suci al-Qur’ān ada yang bersifat rinci dan sangat
jelas maksudnya, dan ada
yang masih bersifat umum dan perlu pemahaman
mendalam untuk
memahaminya.
3. Kandungan Hukum dalam
al-Qur’ān
Para ulama
mengelompokkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān ke
dalam tiga bagian, yaitu
seperti berikut.
a. Akidah atau Keimanan
Akidah atau keimanan
adalah keyakinan yang tertancap kuat di dalam
hati. Akidah terkait
dengan keimanan terhadap hal-hal yang gaib yang
terangkum dalam rukun
iman (arkānu ³mān), yaitu iman kepada Allah Swt.
malaikat, kitab suci,
para rasul, hari kiamat, dan qada/qadar Allah Swt.
b. Syari’ah atau Ibadah
Hukum ini mengatur
tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan
langsung dengan
al-Khāliq (Pencipta) yaitu Allah Swt. yang disebut dengan
‘ibadah ma¥«ah, maupun
yang berhubungan dengan sesama makhluknya
yang disebut dengan
ibadah gairu ma¥«ah. Ilmu yang mempelajari tata
cara ibadah dinamakan
ilmu fikih.
1) Hukum Ibadah
Hukum ini mengatur
bagaimana seharusnya melaksanakan ibadah
yang sesuai dengan
ajaran Islam. Hukum ini mengandung perintah
untuk mengerjakan śalat,
haji, zakat, puasa dan lain sebagainya.
2) Hukum Mu’amalah
Hukum ini mengatur
interaksi antara manusia dengan sesamanya,
seperti hukum tentang
tata cara jual-beli, hukum pidana, hukum
perdata, hukum warisan,
pernikahan, politik, dan lain sebagainya.
c. Akhlak atau Budi
Pekerti
Selain berisi
hukum-hukum tentang akidah dan ibadah, al-Qur’ān juga
berisi hukum-hukum
tentang akhlak. Al-Qur’ān menuntun bagaimana
seharusnya manusia
berakhlak atau berperilaku, baik akhlak kepada Allah
Swt., kepada sesama
manusia, dan akhlak terhadap makhluk Allah Swt.
yang lain. Pendeknya,
akhlak adalah tuntunan dalam hubungan antara
manusia dengan Allah
Swt.– hubungan manusia dengan manusia – dan
hubungan manusia dengan
alam semesta. Hukum ini tecermin dalam
konsep perbuatan manusia
yang tampak, mulai dari gerakan mulut
(ucapan), tangan, dan
kaki.
Hadis atau Sunnah
1. Pengertian Hadis atau
Sunnah
Secara bahasa hadis
berarti perkataan atau ucapan. Menurut istilah, hadis
adalah segala perkataan,
perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad saw.
Hadis juga dinamakan sunnah. Namun demikian,
ulama hadis membedakan
hadis dengan sunnah. Hadis adalah ucapan
atau perkataan
Rasulullah saw., sedangkan sunnah adalah segala apa yang
dilakukan oleh
Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam.
Hadis dalam arti
perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas
beberapa bagian yang
saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis
tersebut antara lain
adalah sebagai berikut.
a. Sanad, yaitu
sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis
dari Rasulullah saw.
sampai kepada kita sekarang.
b. Matan, yaitu isi atau
materi hadis yang disampaikan Rasulullah saw.
c. Rawi, adalah orang
yang meriwayatkan hadis.
2. Kedudukan Hadis atau
Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber hukum
Islam, hadis berada satu tingkat di bawah al-
Qur’ān. Artinya, jika
sebuah perkara hukumnya tidak terdapat di dalam al-
Qur’ān, yang harus
dijadikan sandaran berikutnya adalah hadis tersebut. Hal
ini sebagaimana firman
Allah Swt:
Artinya : “... dan
apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
ia. Dan apa-apa yang
dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (Q.S. al-¦asyr/59:7)
Demikian pula firman
Allah Swt. dalam ayat yang lain:
Artinya: “Barangsiapa
menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya
ia telah menaati Allah
Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka
(ketahuilah) Kami tidak
mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara
mereka.” (Q.S.
an-Nisā’/4:80)
Nah, kamu sudah paham,
bukan, tentang peran penting hadis sebagai
sumber hukum Islam kedua
setelah al-Qur’ān? Sekarang mari kita lihat
kedudukan hadis terhadap
sumber hukum Islam pertama yaitu al-Qur’ān.
3. Fungsi Hadis terhadap
al-Qur’ān
Rasulullah saw. sebagai
pembawa risalah Allah Swt. bertugas menjelaskan
ajaran yang diturunkan
Allah Swt. melalui al-Qur’ān kepada umat manusia.
Oleh karena itu, hadis
berfungsi untuk menjelaskan (bayan) serta menguatkan
hukum-hukum yang
terdapat dalam al-Qur’ān.
Fungsi hadis terhadap
al-Qur’ān dapat dikelompokkan sebagai berikut.
a. Menjelaskan ayat-ayat
al-Qur’ān yang masih bersifat umum
Contohnya adalah ayat
al-Qur’ān yang memerintahkan śalat. Perintah
śalat dalam al-Qur’ān
masih bersifat umum sehingga diperjelas dengan
hadis-hadis Rasulullah
saw. tentang śalat, baik tentang tata caranya
maupun jumlah bilangan
raka’at-nya. Untuk menjelaskan perintah śalat
tersebut misalnya
keluarlah sebuah hadis yang berbunyi, “Śalatlah kalian
sebagaimana kalian
melihat aku śalat”. (H.R. Bukhari)
b. Memperkuat pernyataan
yang ada dalam al-Qur’ān
Seperti dalam al-Qur’ān
terdapat ayat yang menyatakan, “Barangsiapa
di antara kalian melihat
bulan, maka berpuasalah!” Maka ayat tersebut
diperkuat oleh sebuah
hadis yang berbunyi, “... berpuasalah karena
melihat bulan dan
berbukalah karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
c. Menerangkan maksud
dan tujuan ayat
Misal, dalam Q.S. at-Taubah/9:34
dikatakan, “Orang-orang yang
menyimpan emas dan
perak, kemudian tidak membelanjakannya di jalan
Allah Swt.,
gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!” Ayat ini
dijelaskan oleh hadis
yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan zakat
kecuali supaya menjadi
baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R.
Baihaqi)
d. Menetapkan hukum baru
yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān
Maksudnya adalah bahwa
jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya
dalam al-Qur’ān, diambil
dari hadis yang sesuai. Misalnya, bagaimana
hukumnya seorang
laki-laki yang menikahi saudara perempuan istrinya.
Maka hal tersebut
dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw :
Artinya: “Dari Abi
Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang
seseorang mengumpulkan
(mengawini secara bersama) seorang
perempuan dengan saudara
dari ayahnya serta seorang perempuan
dengan saudara perempuan
dari ibunya.” (H.R. Bukhari)
4. Macam-Macam Hadis
Ditinjau dari segi
perawinya, hadis terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti
berikut.
a. Hadis Mutawattir
Hadis mutawattir adalah
hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi,
baik dari kalangan para
sahabat maupun generasi sesudahnya dan
dipastikan di antara
mereka tidak bersepakat dusta. Contohnya adalah
hadis yang berbunyi:
Artinya: “Dari Abu
Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Barangsiapa berdusta
atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya
adalah neraka.” (H.R.
Bukhari, Muslim)
b. Hadis Masyhur
Hadis masyhur adalah
hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat
atau lebih yang tidak
mencapai derajat mutawattir namun setelah itu
tersebar dan
diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’³n sehingga tidak
mungkin bersepakat
dusta. Contoh hadis jenis ini adalah hadis yang
artinya, “Orang Islam
adalah orang-orang yang tidak mengganggu orang
lain dengan lidah dan
tangannya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmizi)
c. Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis
yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua
orang perawi sehingga
tidak mencapai derajat mutawattir. Dilihat dari segi
kualitas orang yang
meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga
bagian berikut.
1) Hadis Śahih adalah
hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil,
kuat hafalannya, tajam
penelitiannya, sanadnya bersambung kepada
Rasulullah saw., tidak
tercela, dan tidak bertentangan dengan riwayat
orang yang lebih
terpercaya. Hadis ini dijadikan sebagai sumber hukum
dalam beribadah
(hujjah).
2) Hadis hasan, adalah
hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil,
tetapi kurang kuat
hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat,
dan tidak bertentangan.
Sama seperti hadis śahih, hadis ini dijadikan
sebagai landasan
mengerjakan amal ibadah.
3) Hadis dhaif, yaitu
hadis yang tidak memenuhi kualitas hadis śahih
dan hadis hasan. Para
ulama mengatakan bahwa hadis ini tidak bisa
dijadikan sebagai
hujjah, tetapi dapat dijadikan sebagai motivasi dalam
beribadah.
4) Hadis Maudlu', yaitu
hadis yang bukan bersumber kepada Rasulullah
saw. atau hadis palsu.
Dikatakan hadis padahal sama sekali bukan hadis.
Hadis ini jelas tidak
dapat dijadikan landasan hukum, hadis ini tertolak.
Ijtihād sebagai upaya
memahami al-Qur’ān dan Hadis
1. Pengertian Ijtihād
Kata ijtihād berasal
bahasa Arab ijtahada-yajtahidu-ijtihādan yang berarti
mengerahkan segala
kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga,
atau bekerja secara
optimal. Secara istilah, ijtihād adalah mencurahkan
segenap tenaga dan
pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan
suatu hukum. Orang yang
melakukan ijtihād dinamakan mujtahid.
2. Syarat-Syarat
berijtihād
Karena ijtihād sangat
bergantung pada kecakapan dan keahlian para
mujtahid, dimungkinkan
hasil ijtihād antara satu ulama dengan ulama lainnya
berbeda hukum yang
dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat
melakukan ijtihād dan
menghasilkan hukum yang tepat. Berikut beberapa
syarat yang harus
dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihād.
a. Memiliki pengetahuan
yang luas dan mendalam.
b. Memiliki pemahaman
mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul
fikih, dan tarikh
(sejarah).
c. Memahami cara merumuskan
hukum (istinba).
d. Memiliki keluhuran
akhlak mulia.
3. Kedudukan Ijtihād
Ijtihād memiliki
kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’ān
dan hadis. Ijtihād
dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya
dalam al-Qur’ān dan hadis.
Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari
ijtihād tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’ān maupun hadis.
Hal ini sesuai dengan
sabda Rasulullah saw.:
Artinya: “Dari Mu’az,
bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika
mengutusnya ke Yaman, ia
bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan
suatu perkara yang
dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan
memutuskan menurut
Kitabullah (al-Qur’ān).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika
di dalam Kitabullah
engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
Muaz menjawab, “Jika
begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah
Rasulullah saw.”
Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak
menemukan sesuatu hal
itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan
mempergunakan
pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihādu bi ra’yi) tanpa
bimbang sedikitpun.”
Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang
memberikan bimbingan
kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang
disetujui Rasul-Nya.”
(H.R. Darami)
Rasulullah saw. juga
mengatakan bahwa seorang yang berijtihād sesuai
dengan kemampuan dan
ilmunya, kemudian ijtihādnya benar, maka ia
mendapatkan dua pahala,
dan jika kemudian ijtihādnya itu salah maka ia
mendapatkan satu pahala.
Hal tersebut ditegaskan
melalui sebuah hadis:
Artinya: “Dari Amr bin
Aś, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda,
“Apabila seorang hakim
berijtihād dalam memutuskan suatu persoalan,
ternyata ijtihādnya
benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia
berijtihād, kemudian
ijtihādnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” (H.R.
Bukhari dan Muslim)
4. Bentuk-bentuk Ijtihād
Ijtihād sebagai sebuah
metode atau cara dalam menghasilkan sebuah
hukum terbagi ke dalam
beberapa bagian, seperti berikut.
a. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan
para ulama ahli ijtihād dalam memutuskan
suatu perkara atau
hukum. Contoh ijma’ di masa sahabat adalah
kesepakatan untuk
menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaranlembaran
terpisah menjadi sebuah
mus¥af al-Qur’ān yang seperti kita
saksikan sekarang ini.
b. Qiyas
Qiyas adalah
mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang
tidak terdapat dalam
al-Qur’ān atau hadis dengan yang sudah terdapat
hukumnya dalam al-Qur’ān
dan hadis karena kesamaan sifat atau
karakternya. Contoh
qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras
selain khamr seperti
brendy, wisky, topi miring, vodka, dan narkoba karena
memiliki kesamaan sifat
dan karakter dengan khamr, yaitu memabukkan.
Khamr dalam al-Qur’ān
diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman
keras, berjudi, (berkurban
untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan
anak panah, adalah
perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka
jauhilah
(perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Q.S. al-
Maidah/5:90)
c. Maśla¥ah Mursalah
Maśla¥ah mursalah
artinya penetapan hukum yang menitikberatkan
pada kemanfaatan suatu
perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap
syari’at Islam. Misalkan
seseorang wajib mengganti atau membayar
kerugaian atas kerugian
kepada pemilik barang karena kerusakan di luar
kesepakatan yang telah
ditetapkan.
Pembagian Hukum Islam
Para ulama membagi hukum
Islam ke dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi
dan hukum wad’i. Hukum
taklifi adalah tuntunan Allah Swt. yang berkaitan
dengan perintah dan
larangan. Hukum wad’i adalah perintah Allah Swt. yang
merupakan sebab, syarat,
atau penghalang bagi adanya sesuatu.
1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi terbagi ke
dalam lima bagian, seperti berikut.
a. Wajib (far«u), yaitu
aturan Allah Swt. yang harus dikerjakan, dengan
konsekuensi bahwa jika
dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika
ditinggalkan akan
berakibat dosa. Pahala adalah sesuatu yang akan
membawa seseorang kepada
kenikmatan (surga). Sedangkan dosa
adalah sesuatu yang akan
membawa seseorang ke dalam kesengsaraan
(neraka). Misalnya
perintah wajib śalat, puasa, zakat, haji dan
sebagainya.
b. Sunnah (mandub),
yaitu tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan
dengan konsekuensi jika
dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika
ditinggalkan karena
berat untuk melakukannya tidaklah berdosa.
Misalnya ibadah śalat
rawatib, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya.
c. Haram (ta¥rim), yaitu
larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan
atau perbuatan.
Konsekuesinya adalah jika larangan tersebut dilakukan
akan mendapatkan pahala,
dan jika tetap dilakukan, akan mendapatkan
dosa dan hukuman. Akibat
yang ditimbulkan dari mengerjakan larangan
Allah Swt. ini dapat
langsung mendapat hukuman di dunia, ada pula
yang dibalasnya di
akhirat kelak.
Misalnya larangan
meminum minuman keras/narkoba/khamr, larangan
berzina, larangan
berjudi dan sebagainya.
d. Makruh (Karahah),
yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu
perbuatan. Makruh
artinya sesuatu yang dibenci atau tidak disukai.
Konsekuensi hukum ini
adalah jika dikerjakan tidaklah berdosa, akan
tetapi jika ditinggalkan
akan mendapatkan pahala.
Misalnya adalah
mengonsumsi makanan yang beraroma tidak sedap
karena zatnya atau
sifatnya.
e. Mubah (al-Ibadah),
yaitu sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh
untuk ditinggalkan.
Tidaklah berdosa dan berpahala jika dikerjakan
ataupun ditinggalkan.
Misalnya makan roti,
minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya.
Perilaku mulia dari
pemahaman terhadap al-Qur’ān, hadis, dan ijtihād sebagai
sumber hukum Islam
tergambar dalam aktivitas sebagai berikut.
1. Gemar membaca dan
mempelajari al-Qur’ān dan hadis baik ketika sedang sibuk
ataupun santai.
2. Berusaha sekuat
tenaga untuk merealisasikan ajaran-ajaran al-Qur’ān dan hadis.
3. Selalu mengonfirmasi
segala persoalan yang dihadapi dengan merujuk kepada
al-Qur’ān dan hadis,
baik dengan mempelajari sendiri atau bertanya kepada yang
ahli di bidangnya.
4. Mencintai orang-orang
yang senantiasa berusaha mempelajari dan mengamalkan
ajaran-ajaran al-Qur’ān
dan Sunnah.
5. Kritis terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi dengan terus-menerus
berupaya agar tidak
keluar dari ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.
6. Membiasakan diri
berpikir secara rasional dengan tetap berpegang teguh kepada
al-Qur’ān dan hadis.
7. Aktif bertanya dan
berdiskusi dengan orang-orang yang dianggap memiliki
keahlian agama dan
berakhlak mulia.
8. Berhati-hati dalam
bertindak dan melaksanakan sesuatu, apakah boleh dikerjakan
ataukah ditinggalkan.
9. Selalu berusaha keras
untuk mengerjakan segala kewajiban serta meninggalkan
dan menjauhi segala larangan.
10. Membiasakan diri
untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunnah sebagai upaya
menyempurnakan ibadah
wajib karena khawatir belum sempurna.
Rangkuman
1. Al-Qur’ān adalah
kalam Allah Swt. (wahyu) yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad saw. melalui
Malaikat Jibril dan diajarkan kepada umatnya, dan
membacanya merupakan
ibadah.
2. Hadis atau sunnah
adalah segala ucapan atau perkataan, perbuatan, serta
ketetapan (taqrir) Nabi
Muhammad saw. yang terlepas dari hawa nafsu dan
perkara-perkara tercela.
3. Al-Qur’ān adalah
sumber hukum utama selain sebagai kitab suci. Oleh karena
itu, semua ketentuan
hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan
hukum-hukum yang
terdapat dalam al-Qur’ān.
4. Hadis merupakan
sumber hukum kedua setelah al-Qur’ān. Dengan demikian,
hadis memiliki fungsi
yang sangat penting dalam hukum Islam. Di antara fungsi
hadis, yaitu untuk
menegaskan ketentuan yang telah ada dalam al-Qur’ān,
menjelaskan ayat
al-Qurān (bayan tafsir), dan menjelaskan ayat-ayat al-Qurān
yang bersifat umum
(bayan takhśiś).
5. Ijtihād artinya
bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan.
Ijtihād yaitu upaya
sungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuan
akal untuk mendapatkan
hukum-hukum syari’at pada masalah-masalah yang
tidak ada nashnya.
Ijtihād dilakukan dengan mencurahkan kemampuan untuk
mendapatkan hukum syara’
atau ketentuan hukum yang bersifat operasional
dengan mengambil
kesimpulan dari prinsip dan aturan yang telah ada dalam
al-Qur’ān dan Sunnah
Nabi Muhammad saw.
6. Bersikap rasional,
kritis, dan logis dalam beragama berarti selalu menanyakan
landasan dan dasar
(dalil) atas setiap amalan keagamaan yang dilakukan.
Dengan cara ini
seseorang akan dapat terbebas dari taqlid. Lawan taqlid adalah
ittiba’, yaitu
melaksanakan amalan-amalan keagamaan dengan mengetahui
landasan dan dasarnya
(dalil).
7. Merealisasikan dan
menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan akan
membawa manfaat besar
bagi manusia. Semua aturan atau hukum yang
bersumber dari Allah
Swt. dan Rasul-Nya merupakan suatu aturan yang dapat
membawa kemasla¥atan
hidup di dunia dan akhirat.
Demikian pos yang dapat
saya rangkum, semoga ada seribu manfaat bagi umat.
Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh.
SUMBER :
BUKU LKS PAI KELAS X