Memahami Al-Qurān, Hadis, dan Ijtihād sebagai Sumber Hukum Islam

 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhqcCPNC0Sh3QjadaCU0BNSxxXXZFm_qqyBpHL4dxJDsZPpoikMBi9dD-KrjuLTtzoN0aCUGjJ9zO3HGIwG0Au5KN6cNhlQr2xKc0kHjE_zYgdutiyjAsEG7j302-dqvYRiXLt6BV03wHM/s1600/unduhan.jpg

 

Assalamu'alaikum warahmatullahiwabarakatuh

 

Sahabatku yang beriman, marilah kita tingkatkan iman kita dengan selalu memahami sumber hukum Islam, yakni Al-Qur'an, Hadis, dan Ijtihad. Karena hanya dengan begitulah, kehidupan kita yang saat ini kita jalani dapat berlangsung nikmat dan bahagia hingga berlanjut ke akhirat kelak. Berikut ini saya telah merangkum bab sumber hukum Islam yang wajib kita ikuti.


A. Memahami Al-Qurān, Hadis, dan Ijtihād sebagai Sumber Hukum Islam

 

Sumber hukum Islam merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam. Ia menjadi pokok ajaran Islam sehingga segala sesuatu haruslah bersumber atau berpatokan kepadanya. Ia menjadi pangkal dan tempat kembalinya segala sesuatu. Ia juga menjadi pusat tempat mengalirnya sesuatu. Oleh karena itu, sebagai sumber yang baik dan sempurna, hendaklah ia memiliki sifat dinamis, benar, dan mutlak. Dinamis maksudnya adalah al-Qur’ān dapat berlaku di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Benar artinya al-Qur’ān mengandung kebenaran yang dibuktikan dengan fakta dan kejadian yang yang sebenarnya. Mutlak artinya al Qur’ān tidak diragukan lagi kebenarannya serta tidak akan terbantahkan.

 

Adapun yang menjadi sumber hukum Islam yaitu: al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihād.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHg6u7gviYWi0MS-qN19NluBmejLDmkuKoQQYAmN6gp8Yj8TSdbK2NrOTYHvGXo-JqKZ2R1hyphenhypheng9sfh53eVjBZHF0Im0MBo5N-Vqokk_n1HBTZyrrpfQg7EiUuVfRSB6vwJDGSD4LvgJfc/s1600/images+(1).jpg

Al-Qur’ānul Karim

1. Pengertian al-Qur’ān

Dari segi bahasa, al-Qur’ān berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qirā’atan – qur’ānan, yang berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Dari segi istilah, al-Qur’ān adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang sampai kepada kita secara mutawattir, ditulis dalam mus¥af, dimulai dengan surah al-Fāti¥a¥ dan diakhiri dengan surah an-Nās, membacanya berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammadsaw. dan sebagai hidayah atau petunjuk bagi umat manusia. Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Sungguh, al-Qur’ān ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar.” (Q.S. al-Isrā/17:9)

 

2. Kedudukan al-Qur’ān sebagai Sumber Hukum Islam

Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’ān memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Ia merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya.Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur’ān:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan ta’atilah

Rasul-Nya (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara

kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka

kembalikanlah kepada Allah Swt. (al-Qur’ān) dan Rasu-Nyal (sunnah), jika

kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih

utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisā’/4:59)

 

Dalam ayat yang lain Allah Swt. menyatakan:

Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’ān) kepadamu

(Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia

dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau

menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang

yang berkhianat.” (Q.S. an-Nisā’/4:105)

Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Imam Bukhari dan Imam Muslim,

Rasulullah saw. bersabda:

Artinya: “... Amma ba’du wahai sekalian manusia, bukankah aku

sebagaimana manusia biasa yang diangkat menjadi rasul dan saya tinggalkan

bagi kalian semua dua perkara utama/besar, yang pertama adalah kitab Allah

yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya/penerang, maka ikutilah

kitab Allah (al-Qur’an) dan berpegang teguhlah kepadanya ... (H.R. Muslim)

Berdasarkan dua ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa al-Qur’ān adalah

kitab yang berisi sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang

beriman. Al-Qur’ān sumber dari segala sumber hukum baik dalam konteks

kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Namun demikian, hukum-hukum

yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’ān ada yang bersifat rinci dan sangat

jelas maksudnya, dan ada yang masih bersifat umum dan perlu pemahaman

mendalam untuk memahaminya.

 

3. Kandungan Hukum dalam al-Qur’ān

Para ulama mengelompokkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān ke

dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.

a. Akidah atau Keimanan

Akidah atau keimanan adalah keyakinan yang tertancap kuat di dalam

hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang gaib yang

terangkum dalam rukun iman (arkānu ³mān), yaitu iman kepada Allah Swt.

malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan qada/qadar Allah Swt.

 

b. Syari’ah atau Ibadah

Hukum ini mengatur tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan

langsung dengan al-Khāliq (Pencipta) yaitu Allah Swt. yang disebut dengan

‘ibadah ma¥«ah, maupun yang berhubungan dengan sesama makhluknya

yang disebut dengan ibadah gairu ma¥«ah. Ilmu yang mempelajari tata

cara ibadah dinamakan ilmu fikih.

 

1) Hukum Ibadah

Hukum ini mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan ibadah

yang sesuai dengan ajaran Islam. Hukum ini mengandung perintah

untuk mengerjakan śalat, haji, zakat, puasa dan lain sebagainya.

2) Hukum Mu’amalah

Hukum ini mengatur interaksi antara manusia dengan sesamanya,

seperti hukum tentang tata cara jual-beli, hukum pidana, hukum

perdata, hukum warisan, pernikahan, politik, dan lain sebagainya.

c. Akhlak atau Budi Pekerti

Selain berisi hukum-hukum tentang akidah dan ibadah, al-Qur’ān juga

berisi hukum-hukum tentang akhlak. Al-Qur’ān menuntun bagaimana

seharusnya manusia berakhlak atau berperilaku, baik akhlak kepada Allah

Swt., kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap makhluk Allah Swt.

yang lain. Pendeknya, akhlak adalah tuntunan dalam hubungan antara

manusia dengan Allah Swt.– hubungan manusia dengan manusia – dan

hubungan manusia dengan alam semesta. Hukum ini tecermin dalam

konsep perbuatan manusia yang tampak, mulai dari gerakan mulut

(ucapan), tangan, dan kaki.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfXge9S8L_8EpV-n1cpFHVIwSffliqm7SFWvpksn14uA1qb13IL2Bw-qVJRYUzDY8wZyhK7XnMMOIAubm2Lk_T17_K9YLHPb7CnpAhsZnupHYW9e3lNtPyyNqjKQLwUhSQ9euqxv_u-Sw/s1600/images.jpg

Hadis atau Sunnah

 

1. Pengertian Hadis atau Sunnah

Secara bahasa hadis berarti perkataan atau ucapan. Menurut istilah, hadis

adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang dilakukan

oleh Nabi Muhammad saw. Hadis juga dinamakan sunnah. Namun demikian,

ulama hadis membedakan hadis dengan sunnah. Hadis adalah ucapan

atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah adalah segala apa yang

dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam.

Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas

beberapa bagian yang saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis

tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

a. Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis

dari Rasulullah saw. sampai kepada kita sekarang.

 

b. Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan Rasulullah saw.

c. Rawi, adalah orang yang meriwayatkan hadis.

 

2. Kedudukan Hadis atau Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam

Sebagai sumber hukum Islam, hadis berada satu tingkat di bawah al-

Qur’ān. Artinya, jika sebuah perkara hukumnya tidak terdapat di dalam al-

Qur’ān, yang harus dijadikan sandaran berikutnya adalah hadis tersebut. Hal

ini sebagaimana firman Allah Swt:

Artinya : “... dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah

ia. Dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (Q.S. al-¦asyr/59:7)

Demikian pula firman Allah Swt. dalam ayat yang lain:

Artinya: “Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya

ia telah menaati Allah Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka

(ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara

mereka.” (Q.S. an-Nisā’/4:80)

Nah, kamu sudah paham, bukan, tentang peran penting hadis sebagai

sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’ān? Sekarang mari kita lihat

kedudukan hadis terhadap sumber hukum Islam pertama yaitu al-Qur’ān.

 

3. Fungsi Hadis terhadap al-Qur’ān

Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah Allah Swt. bertugas menjelaskan

ajaran yang diturunkan Allah Swt. melalui al-Qur’ān kepada umat manusia.

Oleh karena itu, hadis berfungsi untuk menjelaskan (bayan) serta menguatkan

hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān.

Fungsi hadis terhadap al-Qur’ān dapat dikelompokkan sebagai berikut.

 

a. Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān yang masih bersifat umum

Contohnya adalah ayat al-Qur’ān yang memerintahkan śalat. Perintah

śalat dalam al-Qur’ān masih bersifat umum sehingga diperjelas dengan

hadis-hadis Rasulullah saw. tentang śalat, baik tentang tata caranya

maupun jumlah bilangan raka’at-nya. Untuk menjelaskan perintah śalat

tersebut misalnya keluarlah sebuah hadis yang berbunyi, “Śalatlah kalian

sebagaimana kalian melihat aku śalat”. (H.R. Bukhari)

 

b. Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’ān

Seperti dalam al-Qur’ān terdapat ayat yang menyatakan, “Barangsiapa

di antara kalian melihat bulan, maka berpuasalah!” Maka ayat tersebut

diperkuat oleh sebuah hadis yang berbunyi, “... berpuasalah karena

melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan

Muslim)

 

c. Menerangkan maksud dan tujuan ayat

Misal, dalam Q.S. at-Taubah/9:34 dikatakan, “Orang-orang yang

menyimpan emas dan perak, kemudian tidak membelanjakannya di jalan

Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!” Ayat ini

dijelaskan oleh hadis yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan zakat

kecuali supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R.

Baihaqi)

 

d. Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān

Maksudnya adalah bahwa jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya

dalam al-Qur’ān, diambil dari hadis yang sesuai. Misalnya, bagaimana

hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan istrinya.

Maka hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw :

Artinya: “Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang

seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang

perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan

dengan saudara perempuan dari ibunya.” (H.R. Bukhari)

 

4. Macam-Macam Hadis

Ditinjau dari segi perawinya, hadis terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti

berikut.

 

a. Hadis Mutawattir

Hadis mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi,

baik dari kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan

dipastikan di antara mereka tidak bersepakat dusta. Contohnya adalah

hadis yang berbunyi:

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya

adalah neraka.” (H.R. Bukhari, Muslim)

 

b. Hadis Masyhur

Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat

atau lebih yang tidak mencapai derajat mutawattir namun setelah itu

tersebar dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’³n sehingga tidak

mungkin bersepakat dusta. Contoh hadis jenis ini adalah hadis yang

artinya, “Orang Islam adalah orang-orang yang tidak mengganggu orang

lain dengan lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmizi)

 

c. Hadis Ahad

 

Hadis ahad adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua

orang perawi sehingga tidak mencapai derajat mutawattir. Dilihat dari segi

kualitas orang yang meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga

bagian berikut.

 

1) Hadis Śahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil,

kuat hafalannya, tajam penelitiannya, sanadnya bersambung kepada

Rasulullah saw., tidak tercela, dan tidak bertentangan dengan riwayat

orang yang lebih terpercaya. Hadis ini dijadikan sebagai sumber hukum

dalam beribadah (hujjah).

 

2) Hadis hasan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil,

tetapi kurang kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat,

dan tidak bertentangan. Sama seperti hadis śahih, hadis ini dijadikan

sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.

 

3) Hadis dhaif, yaitu hadis yang tidak memenuhi kualitas hadis śahih

dan hadis hasan. Para ulama mengatakan bahwa hadis ini tidak bisa

dijadikan sebagai hujjah, tetapi dapat dijadikan sebagai motivasi dalam

beribadah.

 

4) Hadis Maudlu', yaitu hadis yang bukan bersumber kepada Rasulullah

saw. atau hadis palsu. Dikatakan hadis padahal sama sekali bukan hadis.

Hadis ini jelas tidak dapat dijadikan landasan hukum, hadis ini tertolak.

Ijtihād sebagai upaya memahami al-Qur’ān dan Hadis

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqnft-WVKjraATXveFQJCowadT0c3YST9G7-66jT_Z8Qd6-pqmWYWNsnFIroPDJ82vk1ZAvBntRHS6gQdfkowGsJBwpjQPFXY0mktHLyVhhHOZXrqaUOeI2WOlRlrdB80ipFrhTCMRHCk/s1600/unduhan+(1).jpg

 

1. Pengertian Ijtihād

Kata ijtihād berasal bahasa Arab ijtahada-yajtahidu-ijtihādan yang berarti

mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga,

atau bekerja secara optimal. Secara istilah, ijtihād adalah mencurahkan

segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan

suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihād dinamakan mujtahid.

 

2. Syarat-Syarat berijtihād

Karena ijtihād sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para

mujtahid, dimungkinkan hasil ijtihād antara satu ulama dengan ulama lainnya

berbeda hukum yang dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat

melakukan ijtihād dan menghasilkan hukum yang tepat. Berikut beberapa

syarat yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihād.

a. Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.

b. Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul

fikih, dan tarikh (sejarah).

c. Memahami cara merumuskan hukum (istinba).

d. Memiliki keluhuran akhlak mulia.

 

3. Kedudukan Ijtihād

Ijtihād memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’ān

dan hadis. Ijtihād dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya

dalam al-Qur’ān dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari

ijtihād tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’ān maupun hadis. 

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:

Artinya: “Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika

mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan

suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan

memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur’ān).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika

di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”

Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah

Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak

menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan

mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihādu bi ra’yi) tanpa

bimbang sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang

memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang

disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami)

Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa seorang yang berijtihād sesuai

dengan kemampuan dan ilmunya, kemudian ijtihādnya benar, maka ia

mendapatkan dua pahala, dan jika kemudian ijtihādnya itu salah maka ia

mendapatkan satu pahala.

 

Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis:

Artinya: “Dari Amr bin Aś, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda,

“Apabila seorang hakim berijtihād dalam memutuskan suatu persoalan,

ternyata ijtihādnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia

berijtihād, kemudian ijtihādnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” (H.R.

Bukhari dan Muslim)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3ebpum5fIU32hQpwGHkB8n9La-YE79j6WUr3nFoNhqBZ71ZA3mJYYAE9e7L25Z0xUD67HqCttyOLYKqG7jsAq5NkvHJK8nxTjGU6WzU2LVPYaWxD2heno_wTeC4jmioKeXR6BP3Eq9fw/s1600/images+(2).jpg

 

4. Bentuk-bentuk Ijtihād

Ijtihād sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah

hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, seperti berikut.

a. Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihād dalam memutuskan

suatu perkara atau hukum. Contoh ijma’ di masa sahabat adalah

kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaranlembaran

terpisah menjadi sebuah mus¥af al-Qur’ān yang seperti kita

saksikan sekarang ini.

 

b. Qiyas

Qiyas adalah mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang

tidak terdapat dalam al-Qur’ān atau hadis dengan yang sudah terdapat

hukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis karena kesamaan sifat atau

karakternya. Contoh qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras

selain khamr seperti brendy, wisky, topi miring, vodka, dan narkoba karena

memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr, yaitu memabukkan.

Khamr dalam al-Qur’ān diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman

keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan

anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka

jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Q.S. al-

Maidah/5:90)

 

c. Maśla¥ah Mursalah

Maśla¥ah mursalah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan

pada kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap

syari’at Islam. Misalkan seseorang wajib mengganti atau membayar

kerugaian atas kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di luar

kesepakatan yang telah ditetapkan.

 

Pembagian Hukum Islam

Para ulama membagi hukum Islam ke dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi

dan hukum wad’i. Hukum taklifi adalah tuntunan Allah Swt. yang berkaitan

dengan perintah dan larangan. Hukum wad’i adalah perintah Allah Swt. yang

merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.

 

1. Hukum Taklifi

Hukum taklifi terbagi ke dalam lima bagian, seperti berikut.

 

a. Wajib (far«u), yaitu aturan Allah Swt. yang harus dikerjakan, dengan

konsekuensi bahwa jika dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika

ditinggalkan akan berakibat dosa. Pahala adalah sesuatu yang akan

membawa seseorang kepada kenikmatan (surga). Sedangkan dosa

adalah sesuatu yang akan membawa seseorang ke dalam kesengsaraan

(neraka). Misalnya perintah wajib śalat, puasa, zakat, haji dan

sebagainya.

 

b. Sunnah (mandub), yaitu tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan

dengan konsekuensi jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika

ditinggalkan karena berat untuk melakukannya tidaklah berdosa.

Misalnya ibadah śalat rawatib, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya.

 

c. Haram (ta¥rim), yaitu larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan

atau perbuatan. Konsekuesinya adalah jika larangan tersebut dilakukan

akan mendapatkan pahala, dan jika tetap dilakukan, akan mendapatkan

dosa dan hukuman. Akibat yang ditimbulkan dari mengerjakan larangan

Allah Swt. ini dapat langsung mendapat hukuman di dunia, ada pula

yang dibalasnya di akhirat kelak.

 

Misalnya larangan meminum minuman keras/narkoba/khamr, larangan

berzina, larangan berjudi dan sebagainya.

 

d. Makruh (Karahah), yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu

perbuatan. Makruh artinya sesuatu yang dibenci atau tidak disukai.

Konsekuensi hukum ini adalah jika dikerjakan tidaklah berdosa, akan

tetapi jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala.

Misalnya adalah mengonsumsi makanan yang beraroma tidak sedap

karena zatnya atau sifatnya.

 

e. Mubah (al-Ibadah), yaitu sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh

untuk ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan berpahala jika dikerjakan

ataupun ditinggalkan.

Misalnya makan roti, minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya.

 

Perilaku mulia dari pemahaman terhadap al-Qur’ān, hadis, dan ijtihād sebagai

sumber hukum Islam tergambar dalam aktivitas sebagai berikut.

 

1. Gemar membaca dan mempelajari al-Qur’ān dan hadis baik ketika sedang sibuk

ataupun santai.

 

2. Berusaha sekuat tenaga untuk merealisasikan ajaran-ajaran al-Qur’ān dan hadis.

 

3. Selalu mengonfirmasi segala persoalan yang dihadapi dengan merujuk kepada

al-Qur’ān dan hadis, baik dengan mempelajari sendiri atau bertanya kepada yang

ahli di bidangnya.

 

4. Mencintai orang-orang yang senantiasa berusaha mempelajari dan mengamalkan

ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.

 

5. Kritis terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi dengan terus-menerus

berupaya agar tidak keluar dari ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.

 

6. Membiasakan diri berpikir secara rasional dengan tetap berpegang teguh kepada

al-Qur’ān dan hadis.

 

7. Aktif bertanya dan berdiskusi dengan orang-orang yang dianggap memiliki

keahlian agama dan berakhlak mulia.

 

8. Berhati-hati dalam bertindak dan melaksanakan sesuatu, apakah boleh dikerjakan

ataukah ditinggalkan.

 

9. Selalu berusaha keras untuk mengerjakan segala kewajiban serta meninggalkan

dan menjauhi segala larangan.

 

10. Membiasakan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunnah sebagai upaya

menyempurnakan ibadah wajib karena khawatir belum sempurna.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhN8qUmye7-MUHrwYXyy2jpbcvPJvEGgO70KGLElktOXJVKCix8uht4ws5COJXEMsvRkxeT3NFsW5pAjrJ_H2Y-aWQZLNA2tVqaDfAzfs0dRiRUGIY2mXx4hRmivasTiDvFT_ED7vjNPf4/s1600/unduhan+(2).jpg

 

 

Rangkuman

1. Al-Qur’ān adalah kalam Allah Swt. (wahyu) yang disampaikan kepada Nabi

Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril dan diajarkan kepada umatnya, dan

membacanya merupakan ibadah.

 

2. Hadis atau sunnah adalah segala ucapan atau perkataan, perbuatan, serta

ketetapan (taqrir) Nabi Muhammad saw. yang terlepas dari hawa nafsu dan

perkara-perkara tercela.

 

3. Al-Qur’ān adalah sumber hukum utama selain sebagai kitab suci. Oleh karena

itu, semua ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan

hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān.

 

4. Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’ān. Dengan demikian,

hadis memiliki fungsi yang sangat penting dalam hukum Islam. Di antara fungsi

hadis, yaitu untuk menegaskan ketentuan yang telah ada dalam al-Qur’ān,

menjelaskan ayat al-Qurān (bayan tafsir), dan menjelaskan ayat-ayat al-Qurān

yang bersifat umum (bayan takhśiś).

 

5. Ijtihād artinya bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan.

Ijtihād yaitu upaya sungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuan

akal untuk mendapatkan hukum-hukum syari’at pada masalah-masalah yang

tidak ada nashnya. Ijtihād dilakukan dengan mencurahkan kemampuan untuk

mendapatkan hukum syara’ atau ketentuan hukum yang bersifat operasional

dengan mengambil kesimpulan dari prinsip dan aturan yang telah ada dalam

al-Qur’ān dan Sunnah Nabi Muhammad saw.

 

6. Bersikap rasional, kritis, dan logis dalam beragama berarti selalu menanyakan

landasan dan dasar (dalil) atas setiap amalan keagamaan yang dilakukan.

Dengan cara ini seseorang akan dapat terbebas dari taqlid. Lawan taqlid adalah

ittiba’, yaitu melaksanakan amalan-amalan keagamaan dengan mengetahui

landasan dan dasarnya (dalil).

 

7. Merealisasikan dan menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan akan

membawa manfaat besar bagi manusia. Semua aturan atau hukum yang

bersumber dari Allah Swt. dan Rasul-Nya merupakan suatu aturan yang dapat

membawa kemasla¥atan hidup di dunia dan akhirat.

 

Demikian pos yang dapat saya rangkum, semoga ada seribu manfaat bagi umat.

Wassalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh.

 

SUMBER : BUKU LKS PAI KELAS X 

 

0 komentar:

Berikan tanggapanmu, terimakasih!